Rabu, 24 Maret 2010

SELAMAT JALAN WAHAI ORANG YANG MUSLIKH
Saya masing ingat dengan jelas dan tak pernah akan terlupakan. Waktu itu, beberapa hari menjelang masa orientasi mahasiswa baru, saya datang dari kampung sebagai orang baru di Tangerang. Dengan membawa tas carrier tinggi saya berjalan cukup jauh. Saya nekat jalan dari terminal Cimone ke Asrama. Bukan karena dompetnya kecopetan, namun darah petualang sebagai seorang anak pecinta alam SMU yang suka naik gunung dan jalan jauh mendorong saya melakukan ‘long march‘ itu. Sekalian ingin tahu suasana kanan kiri ‘jalan setapak’ menuju asrama secara lebih detil. Maklum pendatang baru.

Hari itu cukup terik, tak heran peluh keringat saya bercucuran, mungkin bisa dikatakan sebesar ‘jagung’. Lumayan juga jalan sejauh 7 km di siang hari dengan tas carrier yang tinggi dan berat. Sampai mendekati ‘warteg’ dan ‘warsun’ dekat asrama kampus suasana memang sudah seperti mau perang. Senior-senior pada nongkrong di tempat-tempat strategis. Tampang senior banyak yang ditekuk dan cuek (maaf, ini sekedar cerita kenangan yang sangat indah), bahkan tidak sedikit yang sudah pada mulai rajin nyuruh push-up para calon mahasiswa baru.

Terus terang punggung saya sudah pegal-pegal dan kaki sudah terasa mau ‘copot’. Ternyata Cimone-asrama bukan jarak yang bersahabat buat jalan kaki di siang hari. Setelah melewati dengan aman para senior yang bikin jantung deg-deg-an, saya mendekati gerbang asrama. Sedikit berbeda dengan kondisi di jalan tadi, di asrama tampak lebih sunyi. Mungkin karena di luar masih lumayan panas, jadi banyak penghuni asrama yang lebih memilih beraktivitas didalam asrama.

Langkah saya sudah gontai. Saya sangat lelah dan kaos yang saya kenakan juga sudah basah kuyup dengan keringat yang terus mengucur. Saca baca bismillah ketika satu kaki mulai menginjak halaman asrama yang memang masih asing. Tiba-tiba, dari sebelah kanan melintas seorang laki-laki menyapaku. Saya tahu dia pasti salah seorang senior.

Wajahnya teduh, dan menyunggingkan senyum yang terasa oleh saya sangat tulus dan dalam. Jelas sangat berbeda dengan wajah para senior yang saya telah berpapasan sebelumnya. Kalau senior yang di luar asrama, saya yang harus berusaha menyunggingkan senyum dan menyapa (itupun belum tentu di balas), tapi senior yang satu ini justru sebaliknya. Ia yang terlebih dahulu tersenyum padaku dan menyapaku "baru datang ya, Dik?", demikian ucapnya. Saya pun menjawab singkat dengan perasaan lega dan ‘aman’.

Setelah semakin dekat, tiba-tiba ia menyodorkan tangannya menjabat tangan saya, "Muslikhin’, katanya menyebut namanya. saya pun menjawab singkat dengan menyebut namaku. Tak sampai di situ, setelah sedikit bercengkerama ia pun kemudian membantu dan mengantar saya melakukan registrasi untuk mendapatkan jatah kamar di asrama itu.

* * *

Iya, itu sepenggal kisah yang sangat berkesan di dalam hati. Sebuah kisah yang terjadi hampir 9 tahun yang lalu. Namun, sungguh saya masih ingat setiap terlintas segala sesuatu yang ber’bau’ kampus dulu. Dan kisah ini pun yang saya ceritakan kepada mas Muslikhin ketika bersama istri saya menjenguknya di RS Al-Qadr 24 Maret 2008 yang lalu.

Sore itu Istrinya menyambut saya dan istri saya dengan tatapan mata yang tegar namun berat. Saya cukup terperanjat melihat kondisi fisiknya yang sangat kurus. Bahkan saya hampir tak mengenalinya. Mata ini berkaca-kaca namun saya menahannya. Wajah yang dulu teduh menyapa dengan senyum yang kuat nuansa keikhlasannya, kini tak mampu mengenali saya. Kangker hati yang menyerangnya sejak beberapa bulan lalu sungguh-sungguh merubahnya dari sosok yang gesit dalam kebaikan menjadi sosok yang lemah tak berdaya. Allah SWT pasti telah menggariskan takdirnya dengan jalan yang paling sempurna.

Usai sholat maghrib, istrinya yang begitu tabah meminta saya menuntun sosok yang terbaring itu untuk menunaikan sholat maghrib. Saya pun duduk disamping pembaringan setelah ia ditayamumkan istrinya. Perlahan saya memulai membacakan bacaan-bacaan sholat dengan memegang punggung tangannya yang tinggal tulang berbalut kulit. Bibir saya bergetar membaca setiap ayat-ayat Al-Qur’an dan bacaan sholat. Mata ini tak kuasa menahan lelehan air mata dengan iringan hati yang bergemuruh memohon mukjizat dari sang Penggengam Jiwa. Allahumma, rabbigh firli warhamni wajburni warfa’ni warzuqni wahdini wa’afini wa’fu’anni.

Ia tampak tak bergeming dari posisinya. Setelah sholat dan saya tuntun berdoa, saya sejenak mengajaknya berbincang untuk menghiburnya. Entah ia mendengar atau tidak, tetapi mulut saya terus berbicara. Sambil mengusap keningnya dan mengipasinya, saya pun bercerita padanya tentang kisah sebagaimana yang telah saya ceritakan diatas. Dalam suasana yang tenang itu saya menutup cerita dengan sebuah doa dan harapan, "Mas Muslikhin, insyaAllah, Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kita. Adalah mudah bagi Allah untuk menurunkan mukjizatnya. Dan Allah lah yang paling mengetahui apa yang terbaik buat kita."

* * *

Jum’at, 29 Februari 2008, HP saya berdering tanda SMS masuk, "innalillahi wainnailahi raaji’un, telah wafat akh Muslikhin, 29 th, hari ini jam 17.15 WIB. Mohon doa dan maafnya". Ternyata Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang lebih menyayanginya dengan jalan mengambil dirinya kembali dalam rengkuhan-Nya. Mengistirahatkan dirinya dari penat kehidupan yang fana ini.

Selamat jalan wahai seorang yang muslikh, kami menjadi bukti atas ketulusanmu, keikhlasanmu, kebaikanmu, dan perjuanganmu dalam membela dakwah Islam yang mulia ini. Dan Allah yang Maha Perkasa yang paling mengetahui kebajikanmu. Selamat jalan saudaraku. Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita akan dikembalikan. Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar