Rabu, 24 Maret 2010

SELAMAT JALAN MUJAHIDAH: ALLAH TELAH MEMILIH KALIAN

Turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas syahidnya ukhti Mia Eka Putri dan ukhti Evi Alvia yang telah kembali ke sisi Allah SWT dalam musibah kecelakaan 8 Juli 2007 yang menimpa ikhwan & akhwat pada acara Dauroh Pelajar DP2 Kota Tangerang.

Semoga Allah menerima segala amal sholih keduanya, mengampuni semua salah dan khilafnya, serta menempatkan keduanya di tempat terbaik di syurga-Nya yang penuh nikmat dan suka cita. Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan, ketegaran, dan keikhlasan atas kepergian mereka berdua. Insya Allah ridhonya kita akan menjadi jalan kemudahan bagi keduanya sampai di taman yang diimpikan setiap orang beriman.

Bagi ikhwan dan akhwat korban musibah yang Allah selamatkan, semoga diberikan kekuatan iman, kesejukan hati, keikhlasan, dan kesabaran. Mudah-mudahan Allah segera menyembuhakan sakit dan luka kalian. Dan yakinlah bahwa ".. segores luka dijalan Allah, kan menjadi saksi pengorbanan" dihadapan Allah yang Maha Penyayang. Untuk kalian para mujahid da’wah yang tsabat, petikkan nasyid cinta ini dipersembahkan:

Mengarungi samudera kehidupan
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan Allah
kan menjadi saksi pengorbanan

Allahu ghoyyatuna, Ar-rosul qudwatuna
Al-qur’an dusturuna, Al-jihadu sabiluna
Al-mautu fii sabilillah asma amanina

Allah adalah tujuan kami, Rosulullah tauladan kami
Al-qur’an pedoman hidup kami
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi

(nasyid shoutul harokah: "Bingkai Kehidupan")

Musibah ini adalah takdir Allah yang telah digariskan. Semoga kita semua sabar dan dapat mengambil pelajaran berharga darinya. Namun, jangan pernah berhenti untuk terus melangkah, apalagi hanya karena musibah kematian ini. Sebab, seandainya kita bersembunyi di lubang semut pun, jika telah tiba masanya, maka kematian pasti akan datang menjemput.

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan (Al-Ankabut: 57)

Kematian hanya peringatan bagi setiap yang bernyawa, bahwa umur yang Allah berikan buat kita sedemikian sempit. Karenanya, teruslah bekerja dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk bekal menuju sang Pencipta. Sebab kita lebih cinta mati di jalan Allah, ketimbang meregang nyawa di atas ranjang yang mewah. "Selamat jalan mujahidah.., sungguh Allah telah memilih kalian.." Semoga kelak Allah mengumpulkan kita semua di syurga-Nya. Amiin.

PERJALANAN YANG PENUH ARTI

Aku dilahirkan 26 tahun lalu, tepatnya 29 September 1980, di kota kecil yang terkenal dengan makanan khas ‘Nasi Grombyang’. Kota yang dipagari Gunung Slamet di bagian selatan dan pantai Laut Jawa di sebelah utara, yang merupakan bagian dari Propinsi Jawa Tengah. Kicau burung dan bentangan sawah yang luas begitu kental mewarnai setiap sudut-sudut kota dan pedesaaan. Subhanallah, aku jadi selalu merindukan kampung halamanku.

Puji syukur hanya untuk Allah yang berkenan memberiku sebagaian nikmat kecerdasan, hingga di masa perjalanan mengenyam jenjang pendidikan dasar, prestasi ranking 1 tidak pernah lepas dari genggaman. Bapak dan Ibu guru, kalian adalah para pahlawan yang telah membimbingku penuh kesabaran. Serta kawan-kawan masa kecilku, kalian adalah orang-orang yang banyak memberi pelajaran persahabatan dalam mengarungi perjalanan hidup ini. Aku tak mungkin melupakan kalian.

Kenangan Bersama Ayah

Tidak bisa kupungkiri, waktu itu adalah masa-masa sulitku menghadapi takdir kehidupan. Ketika Juni 1989 Allah SWT. berkenan memanggil ayahanda ke haribaan-Nya. Usiaku belum genap 9 tahun. Dan raport kenaikan kelasku belum sempat ayah tanda tangani.

Ayah, engkau adalah guru terbaikku. Yang mengajarkan tentang cinta dan kasih sayang, tentang kesabaran dan kelembutan, tentang kesederhanaan dan kepedulian, tentang tanggung jawab dan keberanian, tentang ketegaran dan pengorbanan. Ayah, engkau telah membimbingku mempelajari tentang hidup dan kehidupan.

Betapa aku masih ingat, saat di suatu malam engkau mengajakku bersama kakak bermalam ditengah-tengah persawahan yang begitu gelap. Di sebuah gubuk kecil, ditemani suara jangkrik dan radio kecil, aku dan kakak menyertaimu menjaga tumpukan kedelai hasil panen kita tadi siang. Kulihat dilangit sana berhiaskan taburan kerlip bintang yang begitu indah. Ayah, aku merasakan kedamaian.

Dan aku pun ingat, detik-detik terakhir saat perpisahan denganmu. Kulihat jasadmu terbujur kaku, tak menyapaku. Sayangnya, waktu itu aku masih terlalu kecil untuk memahami apa arti kematian. Aku hanya mampu merenung kosong tanpa pemahaman. Terbersit dalam benakku, satu saat nanti… Ayah pasti kembali lagi.

Hari pun berlalu satu demi satu, dan akhirnya harus ku pahami bahwa ayah tak mungkin kembali lagi. Ayah, selamat jalan ayah. Semoga Allah SWT menerimamu dalam naungan ampunan dan kasih sayang-Nya, sebagaimana ketulusan cinta dan kasihmu pada Ibu, kakak, dan aku.

Wanita yang Tegar

Aku memahami adaptasi yang tidak begitu mudah bagimu, Ibu. Karena dulu, ketika ayah masih ada di antara kita, engkau hanyalah seorang ibu rumah tangga. Tapi sejak saat itu, dirimu harus menjadi seorang ibu sekaligus kepala rumah tangga. Mencari nafkah untuk bertahan hidup.

Sejak kepergian ayah, dirimu adalah orang yang paling dekat denganku. Apalagi kakak kemudian tinggal bersama saudara agar bisa tetap melanjutkan sekolah. Ibu, engkau adalah wanita tegar yang pantang putus asa, meski sedih dan berat. Aku bisa merasakan ketika butir air mata sering membasahi kelopak matamu. Dan aku pun merasakan ketika kulitmu kian berkerut dan lapuk terbakar sinar matahari. Aku sangat merasakan spirit yang terus bergelora dalam dirimu, untuk tidak menyerah melewati masa-masa sulit.

Ibu, aku senang dan aku bangga. Kala tubuh mungilku waktu itu bisa membantumu mencari penghasilan. Ketika pagi-pagi buta aku mesti menyertaimu merawat dan menyiangi tanaman sayur-mayur kita. Menyirami dan menaburinya pupuk, menjaganya dan memeliharanya. Setiap pagi dan sore hari kaki kecilku mengayuh sepeda tua untuk menemani atau menyusulmu menyambangi lahan-lahan sayuran.

Hingga masa petik tiba, aku pun bersamamu membantu mengumpulkan ikatan-ikatan sayuran. Membersihkan dan mengemasnya. Tidak jarang aku juga turut mengangkutnya ke pasar untuk segera dijual dalam keadaan segar.

Ibu, aku bangga dan bahagia bisa membantumu meski waktu belajar dan bermainku jadi tidak banyak, toh aku juga masih bisa sempat bermain. Tapi insya Allah aku ikhlas. Ibu, engkau adalah orang yang paling aku cintai melebihi segalanya.

Ibu, aku juga masih ingat. Ketika akhirnya, ibu harus menentukan pilihan untuk merantau ke Ibukota Negara. Engkau memelukku erat dengan deraian air mata. Sedih rasanya, keluarga yang hanya 3 nyawa tidak pernah tinggal serumah sejak kepergian ayah.

Tekadmu yang kuat agar aku dan kakak tetap sekolah, meski harus tinggal terpisah jarak yang jauh, membuat dirimu tak lagi memperdulikan kulitmu yang mulai berkerut dan tenagamu yang kian melemah. Semoga Allah meridhoi ikhtiar dan perjuanganmu.

Dan do’a-do’a panjangmu di sepertiga malam terakhir adalah penguat kesabaran, energi harapan, dan sebab-sebab kehendak Allah memberikan kita ‘kemenangan’. Dan kini Allah telah mengabulkan diantara do’a-do’a kita.

Ibu, kini aku menyadari hikmah besar dari peristiwa-peristiwa yang Allah ujikan kepada kita. Cita-cita dan misi hidup yang kuat telah mengantarkan kita kepada keberhasilan melewati masa-masa sulit itu.

Bunda… terima kasih.

Semoga Allah Yang Maha Penyayang tiada henti membimbing dan menaungi kita. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar